
Polemik Biksu Di Masjid, MUI Jangan Perlemah Kebhinekaan
Gerak News, Jakarta- Perjalanan spiritual rombongan biksu Thudong untuk merayakan Waisak di Candi Borobudur menuai polemik. Hal itu dipicu singgahnya rombongan biksu Thudong singgah di beranda Masjid Baiturrohmah Bengkal, Temanggung.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Cholil Nafis menilai toleransi yang dilakukan pengurus masjid terlalu kebablasan sebab dilakukan di rumah ibadah. Apalagi muncul narasi yang menyoal rombongan biksu Thudong mendoakan warga sebagai bentuk terima kasih.
Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan menuturkan, organisasi-organisasi keagamaan termasuk MUI seharusnya menjadi tulang punggung kebhinekaan Indonesia. Teks pandangan keagamaan mereka justru harus menjadi penguat bagi konteks keberagaman di negara Pancasila ini.
“Jangan sampai mereka gunakan otoritas keagamaan untuk memperlemah kebhinekaan, misal dengan menilai negatif perjumpaan lintas agama yang terus diupayakan masyarakat untuk dapat hidup damai secara berdampingan dalam perbedaan,” kata Halili, baru-baru ini.
Perjumpaan lintas agama seharusnya menjadi sikap toleransi yang nyata dan terus dipupuk. Pasalnya, kejadian pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan masih terus ditemui di masyarakat. Misalnya, kasus penyerangan yang dialami mahasiswa Katolik di Tangerang Selatan saat melakukan doa rosario beberapa waktu lalu.
Data SETARA Institute menunjukkan, periode 2007-2022 saja terdapat 573 kasus gangguan terhadap tempat ibadah dan peribadatan yang terjadi di Indonesia. Sepanjang 2023 saja, terjadi beberapa peristiwa intoleransi dan pelanggaran KBB.
Contohnya, pembubaran ibadah dilakukan kelompok masyarakat terhadap jemaat Gereja Mawar Sharon (GMS) Binjai di Kota Binjai, Sumatera Utara. Selain itu, ada pembubaran ibadah di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Gihon di Kelurahan Sidomulyo Timur, Kecamatan Marpoyan Damai, Kota Pekanbaru, Riau.
Pada Mei 2023, turut terjadi pembubaran aktivitas pendidikan Agama Kristen di Gereja Bethel Indonesia (GBI) di Desa Cilame, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Di bulan yang sama, terjadi pembakaran Balai pengajian milik Muhammadiyah di Desa Sangso, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen.
Halili berpendapat, pemahaman MUI soal toleransi memang agak rendah. Puncak dari toleransi itu seharusnya inklusi, yaitu ketika individu menganggap dan memperlakukan yang lain sebagai sesama manusia. Maka perbedaan simbol, entitas, dan ritus yang terdapat pada yang lain itu (liyan) justru menjadi penyempurna bagi diri (self) seseorang.
“Dalam konteks itu, istilah kebablasan toleransi yang disematkan oleh Cholil Nafis kepada penerimaan biksu Thudong oleh warga muslim di sebuah masjid merupakan pernyataan yang tidak tepat,” ujar Halili.
Sementara itu, Halili menilai pernyataan MUI tidak akan melunturkan toleransi di masyarakat. Pernyataan MUI tidak terlalu berpengaruh. Alasannya, karena di kalangan umat Islam saja sikap MUI tidak selalu menjadi rujukan. Dia menilai ormas Islam semacam PBNU, Muhammadiyah, Persis dan dinilai masyarakat lebih otoritatif dalam menentukan sikap dan pandangan.
“Organisasi-organisasi keislaman tidak selalu setuju dengan pandangan MUI, apalagi pilihan sikap perorangan Pengurus MUI. Dalam konteks itu, pernyataan soal kebablasan toleransi itu saya yakin tidak terlalu berpengaruh di kalangan kelompok masyarakat yang toleran,” ungkap Halili.
Redaksi Gerak News