
Apakah Influencer Lebih Berpengaruh dari Aktivis?
Oleh: Esteria Tamba
(Penulis, Aktivis)
Energi Juang News, Jakarta– Pengaruh influencer terhadap opini publik menjadi semakin signifikan di era digital yang serba cepat ini. Dengan kekuatan algoritma dan jutaan pengikut, satu unggahan dari influencer dapat mengguncang persepsi masyarakat dalam hitungan menit.
Di sisi lain, aktivis yang selama ini menjadi ujung tombak perubahan sosial justru sering dianggap “kurang menarik” di mata publik karena pendekatannya yang lugas dan tak kompromistis. Tapi apakah pengaruh besar berarti lebih bermakna?
kita bisa melihat pemikiran Jürgen Habermas, seorang filsuf Jerman yang dikenal dengan konsep “ruang publik”—yakni arena tempat warga negara berdiskusi secara rasional untuk membentuk opini publik.
Menurut Habermas, idealnya opini publik dibentuk lewat diskursus terbuka dan kritis, bukan oleh kepentingan ekonomi atau kuasa pasar. Di sinilah perbedaan mencolok muncul: influencer hari ini, sering kali disewa untuk menyebarkan pesan politik, hoaks, atau bahkan melakukan pencitraan untuk tokoh tertentu tanpa proses diskusi objektif yang diusulkan Habermas.
Fenomena ini menciptakan ilusi partisipasi publik, padahal yang terjadi adalah manipulasi persepsi.
Aktivis, meskipun tidak selalu viral, justru menjaga integritas ruang publik dengan menghadirkan narasi kritis dan fakta yang sering kali tidak populer atau bertentangan dengan arus utama. Ini menjelaskan mengapa peran mereka tetap penting meskipun tidak setenar influencer.
Yang perlu dicermati adalah bagaimana masyarakat belajar membedakan antara popularitas dan kredibilitas.
Ketika suara yang paling lantang di media sosial bukan lagi suara yang paling benar, kita butuh lebih banyak aktivis yang tak gentar menyuarakan kebenaran, dan lebih sedikit influencer yang menjual kepercayaan publik demi kontrak endorse. Jika tidak, kita justru sedang berjalan mundur dalam pembangunan demokrasi.
Redaksi Energi Juang News