Seksisme Mengakar: Tantangan Menuju Kesetaraan Gender di Indonesia

Seksisme Mengakar: Tantangan Menuju Kesetaraan Gender di Indonesia

Oleh: Iranto

(Aktivis, Social Media Specialist)

Energi Juang News, Jakarta-Seksisme adalah bentuk ketidakadilan yang telah lama mengakar dalam struktur sosial masyarakat. Ia muncul dalam berbagai wujud — dari prasangka, stereotip, hingga kebijakan dan tindakan diskriminatif — yang membedakan peran, hak, dan peluang antara laki-laki dan perempuan. Dalam konteks Indonesia, seksisme tidak hanya hadir dalam ranah privat, tetapi juga menjangkau institusi pendidikan, ekonomi, dan bahkan pemerintahan. Fenomena ini secara sistematis menghambat perempuan untuk berdaya dan mencapai potensi penuh mereka.

Seksisme sering kali tidak disadari karena telah menjadi bagian dari norma sosial dan budaya yang diwariskan turun-temurun. Dalam buku Mengapa Perempuan Harus Berpendidikan?, Andiri Rizki Utami menjelaskan bahwa seksisme merupakan bentuk prasangka serta sikap dan perilaku diskriminatif yang berdasarkan pada jenis kelamin atau gender tertentu. Ia menekankan bahwa meskipun tidak selalu disertai niat jahat, seksisme tetap berdampak besar terhadap kehidupan perempuan. Pelakunya pun bisa saja tidak menyadari bahwa sikap atau ucapannya bersifat merendahkan dan memperkuat ketidaksetaraan.

Contoh Seksisme dalam Politik Kontemporer

Salah satu kasus yang baru-baru ini mencuat ke publik terjadi dalam Debat Pilkada 2024 di Banten. Calon Wakil Gubernur Banten, Dimyati Natakusumah, mendapat kritik tajam atas pernyataannya yang dianggap merendahkan perempuan. Saat menanggapi pertanyaan mengenai tingginya angka kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, Dimyati justru menyampaikan pendapat yang menunjukkan ketidakpercayaan terhadap kemampuan perempuan dalam memimpin. Ia mengatakan, “Jadi gubernur itu berat. Maka sebab itu laki-lakilah harus membantu memaksimalkan bagaimana Banten ini maju.” Tak berhenti di situ, ia juga menambahkan bahwa menyuruh perempuan bekerja terlalu keras sebagai pemimpin adalah bentuk ketidakadilan.

Pernyataan ini secara tidak langsung meremehkan kapasitas perempuan dan memperkuat stereotip lama bahwa perempuan tidak pantas memikul tanggung jawab besar di ranah publik. Hal ini menjadi ironi ketika perempuan Indonesia saat ini justru semakin banyak yang membuktikan kompetensinya dalam berbagai bidang, termasuk politik dan kepemimpinan.

Dimyati diduga melontarkan pernyataan tersebut untuk menyindir rival politiknya, Airin Rachmy Diany, yang maju sebagai Calon Gubernur Banten. Namun, alih-alih menjadi strategi politik yang efektif, pernyataan ini justru menuai kontroversi dan dikecam luas karena memperkuat budaya patriarki yang selama ini menghambat kemajuan perempuan.

Dampak Seksisme Terhadap Representasi Perempuan

Sikap seksis seperti yang ditunjukkan dalam pernyataan Dimyati memperkuat hambatan struktural yang telah lama dihadapi perempuan. Salah satunya adalah ketimpangan dalam keterwakilan politik. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), keterlibatan perempuan dalam parlemen Indonesia pada tahun 2023 hanya mencapai 22,14 persen. Ini berarti lebih dari tiga perempat kursi parlemen masih didominasi laki-laki. Ketimpangan ini menggambarkan belum tercapainya prinsip representasi yang setara antara laki-laki dan perempuan dalam pengambilan kebijakan publik.

Lebih jauh, kondisi ini menjadi semakin ironis ketika kita melihat struktur Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), yang membidangi isu-isu agama, sosial, perempuan, dan anak. Meski salah satu fokusnya adalah isu perempuan, komisi ini bahkan tidak memiliki satu pun perempuan di jajaran pimpinannya. Ketidakhadiran perempuan dalam forum pengambilan keputusan yang menyangkut nasib perempuan dan anak-anak menunjukkan bahwa suara mereka masih belum dianggap penting.

Peran Masyarakat dan Edukasi Gender

Seksisme tidak akan hilang hanya dengan kebijakan formal; perubahan harus dimulai dari pola pikir masyarakat. Banyak orang belum menyadari bahwa tindakan atau ucapan sehari-hari, bahkan yang dianggap bercanda, bisa bersifat seksis. Misalnya, anggapan bahwa perempuan “tidak cocok” menjadi pemimpin atau bahwa tugas rumah tangga sepenuhnya menjadi tanggung jawab perempuan. Ucapan-ucapan seperti ini tidak hanya meremehkan perempuan, tetapi juga memperkuat norma sosial yang mengekang.

Untuk mengatasi hal ini, edukasi gender harus menjadi bagian penting dari kurikulum pendidikan dan diskusi publik. Edukasi ini bukan hanya ditujukan kepada perempuan, tetapi juga kepada laki-laki agar mereka memahami pentingnya kesetaraan dan tidak merasa terancam oleh kemajuan perempuan. Media sosial kini menjadi ruang yang potensial untuk menyebarkan narasi kesetaraan gender. Kampanye digital, diskusi terbuka, hingga konten edukatif yang ringan namun informatif, dapat menjadi sarana efektif untuk membentuk opini publik yang lebih adil.

Peran Negara dan Konsistensi Kebijakan

Di samping peran masyarakat, negara juga memegang tanggung jawab besar. Pemerintah dan lembaga politik harus lebih serius dalam menerapkan aturan tentang keterwakilan perempuan. Regulasi yang sudah ada harus ditegakkan dengan konsisten, bukan sekadar formalitas. Selain itu, perempuan perlu didorong untuk berani mengambil posisi strategis dan diberi ruang aman untuk berkembang.

Kesetaraan gender bukan hanya menyangkut hak perempuan, tetapi juga menyangkut kualitas demokrasi dan pembangunan bangsa. Sebuah negara yang membatasi setengah dari populasinya untuk berkontribusi secara maksimal berarti menyia-nyiakan potensi besar yang dimilikinya. Masyarakat yang adil dan sejahtera hanya dapat terwujud jika seluruh warganya memiliki kesempatan yang setara untuk berpartisipasi, berpendapat, dan memimpin.

Seksisme di Indonesia masih menjadi batu sandungan besar dalam perjalanan menuju kesetaraan gender. Meskipun gerakan perempuan semakin berkembang dan kesadaran publik mulai tumbuh, tantangan struktural, budaya, dan politik masih perlu ditangani secara serius. Diperlukan sinergi antara masyarakat, pemerintah, dan institusi pendidikan untuk membongkar akar-akar seksisme yang sudah lama tertanam. Kesetaraan gender bukan sekadar tuntutan kelompok tertentu, tetapi merupakan fondasi bagi masyarakat yang inklusif, adil, dan maju.

Redaksi Energi Juang News

CATEGORIES
TAGS
Share This

COMMENTS

Wordpress (0)
Disqus ( )
Aktifkan Notifikasi Berita Terbaru? Aktifkan Tidak