
Izin Tambang Raja Ampat Dicabut, Kelas Menengah Sukses Tekan Oligarki
Oleh Hiski Darmayana
(Pemimpin Redaksi Energi Juang News)
Pemerintah akhirnya mencabut izin usaha pertambangan (IUP) yang dimiliki empat perusahaan tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Konon, pencabutan IUP ini merupakan hasil rapat terbatas yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto belum lama ini.
Penambangan nikel di kawasan Raja Ampat memang menuai amarah publik. Betapa tidak, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XXI/2023 tegas menyatakan bahwa penambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat menyebabkan kerusakan yang tidak dapat dipulihkan (irreversible) dan melanggar prinsip keadilan antargenerasi.
Putusan MK itu memperkuat UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang menegaskan pelarangan aktivitas pertambangan jika berpotensi mencemari lingkungan dan merugikan masyarakat.
Raja Ampat pun sudah ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional konservasi keanekaragaman hayati melalui Perpres No. 81 Tahun 2023. Dan dalam peraturan tersebut, tidak dicantumkan aktivitas tambang sebagai bagian dari tata ruang wilayah.
Kemarahan publik termanifestasi dalam aksi-aksi beberapa kelompok yang termasuk kategori kelas menengah. Adalah aktivis Greenpeace Indonesia yang mengawalinya. Bersama empat anak muda Papua dari Raja Ampat, mereka menggelar aksi damai menyuarakan dampak buruk pertambangan nikel bagi lingkungan hidup dan masyarakat.
Aksi itu dilakukan saat Wakil Menteri Luar Negeri, Arief Havas Oegroseno, berpidato dalam acara Indonesia Critical Minerals Conference 2025, di Jakarta beberapa waktu lalu.
Mereka menerbangkan banner bertuliskan “What’s the True Cost of Your Nickel?”. Tak lupa, spanduk dengan pesan “Nickel Mines Destroy Lives” dan “Save Raja Ampat from Nickel Mining” pun mereka bentangkan.
Protes masyarakat juga muncul ketika Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia datang ke Raja Ampat pada pekan lalu. Massa aktivis lingkungan dan warga adat meneriakkan yel-yel “Bahlil Penipu”, sebagai bentuk protes atas tindakan pemerintah memberi ruang pada aktivitas tambang nikel di wilayah Raja Ampat.
Penambangan di Raja Ampat juga diprotes masyarakat pengguna media sosial. Media sosial ramai dengan hashtag #SaveRajaAmpat.
Seluruh aksi masyarakat itu menunjukkan kelas menengah Indonesia sedang menjalankan fungsi menjaga demokrasi dari kangkangan oligarki.
Robinson & Hadiz (2013) menyatakan, kelas menengah terdiri dari kalangan intelektual, manajer profesional, aktivis partai politik, aktivis LSM, serta aktivis mahasiswa.
Dalam perspektif sosio-ekonomi, kelas menengah bisa dimaknai sebagai sebuah golongan dengan status sosial, pendapatan, serta tingkat pendidikan yang berada di garis rata-rata. Dalam stratifikasi sosial, sebagaimana dinyatakan Tarkhnishvili & Tarkhnishvili (2013) kelas menengah berada di bawah masyarakat kelas atas dan di atas masyarakat kelas bawah.
Huntington (1991) juga pernah mengungkapkan peranan kelas menengah dalam demokratisasi. Dia menyebutkan bahwa gerakan-gerakan pro demokrasi pada dekade 70-an dipimpin oleh kelas menengah perkotaan.
Di Korea Selatan pada dekade 80-an, contohnya, kelas menengah menjadi kekuatan pendorong yang signifikan bagi perlawanan terhadap otoritarianisme. Kelas menengah juga berperan penting dalam perjuangan untuk distribusi kesejahteraan.
Dalam konteks kekinian di Indonesia, kelas menengah kembali melanjutkan tugas historis itu. Pencabutan IUP milik empat perusahaan tambang di Raja Ampat telah membuktikan keberhasilan kelas menengah negeri ini dalam menekan oligarki.
Semoga tugas sejarah ini tak berhenti disini.
Redaksi Energi Juang News