
JAS MERAH: Perjalanan Indonesia Berdamai dengan Masa Lalu Jepang
Oleh : Esteria Tamba
(Penulis, Aktivis)
Energi Juang News, Jakarta– Bung Karno pernah menegaskan dengan lantang, “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah”, atau yang kita kenal dengan singkatan JAS MERAH. Pesan ini bukan sekadar kutipan monumental, tetapi peringatan serius agar bangsa Indonesia tidak lupa pada perjalanan panjang yang penuh luka, termasuk masa penjajahan Jepang yang meski singkat, meninggalkan jejak brutal yang tidak bisa dihapuskan begitu saja.
Penjajahan Jepang di Indonesia hanya berlangsung selama tiga setengah tahun, dari tahun 1942 hingga 1945. Namun, dalam kurun waktu yang singkat itu, penderitaan rakyat Indonesia melampaui akumulasi kesengsaraan ratusan tahun penjajahan sebelumnya. Jepang datang dengan topeng “Saudara Tua” yang mengusung propaganda Cahaya Asia, seolah-olah mereka ingin membebaskan bangsa Asia dari belenggu Barat. Nyatanya, Indonesia justru diperas habis-habisan. Lebih dari empat juta orang menjadi romusha yang dipaksa bekerja tanpa upah, perempuan-perempuan Indonesia dijadikan jugun ianfu atau budak seks, dan rakyat menderita kelaparan masif karena pangan diprioritaskan untuk tentara Jepang. Inilah wajah brutal Jepang yang seringkali terlupakan.
Namun sejarah memang harus dihadapi dengan kepala tegak, bukan untuk mengobarkan dendam, tetapi untuk menjadi pelajaran. Bung Karno menegaskan bahwa mental bangsa terjajah harus ditanggalkan. Kita tidak boleh terus menerus merasa kecil, merasa kalah, atau terjebak dalam bayang-bayang masa lalu. Mentalitas korban harus berubah menjadi mentalitas pejuang. Bangsa yang mampu berdiri sejajar dengan negara-negara besar lainnya, termasuk dengan Jepang.
Menariknya, hubungan Indonesia dan Jepang hari ini telah bertransformasi menjadi kolaborasi yang produktif. Dalam bidang ekonomi, Jepang menjadi salah satu investor terbesar di Indonesia. Bahkan dalam bidang olahraga seperti sepak bola, kita sudah mulai bersanding dengan Jepang, bukan lagi sebagai bangsa yang tunduk, melainkan sebagai bangsa yang berkompetisi dengan kepala tegak. Pertandingan sepak bola Indonesia dan Jepang di berbagai level bukan hanya soal skor, tetapi simbol pertumbuhan mental bangsa kita. Kita tak lagi inferior.
Budaya pun ikut bertransformasi. Jika dulu Jepang memaksa rakyat Indonesia menyanyikan lagu “Kimigayo” dan membungkuk ke arah Kaisar, kini budaya Jepang hadir di Indonesia sebagai bagian dari pertukaran budaya yang sehat. Anime, kuliner, hingga teknologi Jepang kita nikmati tanpa rasa terjajah. Sebaliknya, budaya Indonesia mulai mendapat tempat di mata dunia.
Namun, penting bagi generasi muda untuk tetap mengingat: melupakan sejarah adalah celah bagi tragedi serupa terulang. Indonesia harus terus bangkit, menjadi bangsa yang tak sekadar meminjam kekuatan dari negara lain, tapi berdiri atas kaki sendiri. JAS MERAH adalah pengingat bahwa sejarah masa lalu, seburuk apapun, harus menjadi api semangat untuk menata masa depan yang jauh lebih baik.
Kini, saatnya kita melanjutkan perjuangan Bung Karno, bukan dengan mengangkat senjata, tapi dengan mengangkat kualitas diri, memperkuat ekonomi, dan membangun bangsa agar tak pernah lagi disebut sebagai bangsa yang mudah ditundukkan. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang tak pernah lupa pada sejarahnya.
Redaksi Energi Juang News