Resiprokal atau Represif? Dampak Kebijakan Tarif Trump terhadap Pekerja Tekstil Nasional

Resiprokal atau Represif? Dampak Kebijakan Tarif Trump terhadap Pekerja Tekstil Nasional

Oleh: Agus Riyanto, S.Tr.Bns

(Direktur Eksekutif KAHMI Rayon Tekstil/ Magister Ekonomi Terapan Universitas Padjadjaran)

Tarif resiprokal merupakan ukuran perdagangan dimana suatu negara mengenakan tarif balasan terhadap komoditas impor yang masuk dari negara mitra dagangnya. Diketahui, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan bahwa penerapan tarif resiprokal untuk Indonesia ialah sebesar 32 persen. Tarif tersebut awalnya akan dinyatakan berlaku mulai 9 April 2025, lalu kemudian ditangguhkan selama 90 hari.

Dampak dari kebijakan resiprositas AS tersebut dirasakan secara langsung oleh pelaku industri di Indonesia, terutama para pekerja. Mereka yang sebelumnya menikmati stabilitas pekerjaan dalam sektor industri tujuan ekspor kini menghadapi ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK), penurunan penghasilan, hingga kehilangan mata pencaharian.

Kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan AS tersebut juga memiliki implikasi yang serius bagi industri tekstil nasional. Bukan saja pada sektor perdagangan, namun juga pada sektor sosio-ekonomi domestik khususnya pada tenaga kerja industri. Industri tekstil merupakan salah satu sektor manufaktur strategis di Indonesia, menyerap lebih dari 3 juta tenaga kerja secara langsung, serta jutaan lainnya secara tidak langsung melalui sektor pendukung seperti distribusi, logistik, dan usaha mikro kecil menengah (UMKM).

Saat ini pasar AS masih menjadi primadona ekspor bagi Indonesia dengan penyerapannya sebesar 10,3 persen dari total ekspor nonmigas. Meskipun Badan Pusat Statistik (BPS) dan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mencatat bahwa terdapat penurunan jumlah ekspor ke AS sejak tahun 2021 dengan penurunan 10 hingga 18 persen pertahun. Namun pada kenyataannya ekspor tekstil pakaian ke AS masih tinggi, menurut data UN Comtrade tahun 2023 ekspor tekstil pakaian Indonesia ke AS sebesar 4,36 miliar US dolar, ditambah sepatu dan alas kaki sebesar USD 1,92 miliar. Jumlah ekspor Indonesia ke Amerika Serikat juga lebih besar dari impornya. Pada tahun 2024 lalu, ekspor Indonesia sebesar USD 28,1 miliar, sebaliknya ekspor AS ke Indonesia sebesar 10,2 miliar US dolar.

Kondisi yang akan terjadi apabila tarif resiprokal AS dengan nilai yang besar diterapkan ialah terjadinya ketidakseimbangan tarif dan kurangnya daya saing produk Indonesia di pasar AS, hal ini terjadi dikarenakan Indonesia dikenakan bea masuk lebih tinggi dan akan kalah dengan produk-produk dari negara pesaing seperti Vietnam yang memiliki perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement) dengan AS.

Ketika permintaan ekspor menurun, dampak pertama dan paling nyata terjadi pada tenaga kerja. Beberapa studi dan laporan dari media lokal menunjukkan bahwa banyak pabrik tekstil di wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah terpaksa melakukan efisiensi, mulai dari pengurangan shift kerja, penyesuaian target produksi, hingga PHK massal.

Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan RI, sepanjang tahun 2023 terjadi pemutusan hubungan kerja terhadap lebih dari 70.000 pekerja di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT), dengan alasan utama penurunan order dari pasar ekspor. Dalam banyak kasus, PHK terjadi secara bertahap: pekerja harian lepas terlebih dahulu, kemudian kontrak, dan terakhir tetap. Mereka yang bertahan pun mengalami penurunan penghasilan akibat pengurangan jam kerja.

Contoh konkret datang dari wilayah Majalaya, salah satu sentra tekstil di Jawa Barat. Beberapa pabrik yang sebelumnya mempekerjakan lebih dari 2.000 orang kini hanya beroperasi dengan separuh kapasitas dan menyisakan 800 hingga 1.000 karyawan. Banyak dari pekerja tersebut kini bergantung pada pekerjaan informal untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti menjahit rumahan atau berdagang kecil-kecilan.

Kehilangan pekerjaan di sektor formal akan membawa dampak sosial yang lebih luas. Banyak keluarga pekerja tekstil yang sebelumnya berada pada ambang garis kemiskinan, akan jatuh ke dalam kategori miskin akibat hilangnya sumber penghasilan utama. Untuk menghadapi realitas tantangan ini, dibutuhkan sinergi antara kebijakan luar negeri yang adaptif, strategi industri yang inovatif, dan perlindungan sosial yang inklusif. Kita tentu berharap negosiasi besaran tarif resiprokal AS mencapai kesepakatan yang menguntungkan bagi Indonesia.

Tantangan yang dihadapi oleh industri tekstil Indonesia terus bertambah dan menekan (represif), hal ini memicu terjadinya vicious cycle dan multiplier effect. Akibat dari resiprositas AS maka ekspor akan menurun dan akan terjadi pengurangan devisa, hal ini menyebebkan nilai rupiah melemah, biaya produksi naik yang kemudian mengakibatkan menurunnya daya saing dan ekspor akan turun, lebih lanjut akan diikuti dengan melemahnya industri dan penurunan investasi.

Hanya dengan pendekatan yang menyeluruh dan berpihak pada keberlanjutan tenaga kerja, Indonesia dapat menjaga stabilitas sosial dan ekonomi di tengah pusaran globalisasi dan proteksionisme gaya baru. Narasi kebijakan luar negeri Indonesia harus mulai memasukkan unsur keberlanjutan sosial domestik. Sebab yang terancam bukan hanya angka ekspor, tetapi juga nasib manusia—jutaan tenaga kerja yang selama ini menjadi tulang punggung industri.

Tarif resiprokal AS mungkin hanya satu bab dari buku besar perdagangan global, namun bagi para pekerja di balik mesin-mesin pabrik Indonesia, bab itu bisa menjadi penentu antara bertahan atau tenggelam.

CATEGORIES
TAGS
Share This

COMMENTS

Wordpress (0)
Disqus ( )
Aktifkan Notifikasi Berita Terbaru? Aktifkan Tidak