Demokrasi di Ujung Jari: Saat Algoritma Mengancam dan Masyarakat Sipil Menjadi Benteng Terakhir

Demokrasi di Ujung Jari: Saat Algoritma Mengancam dan Masyarakat Sipil Menjadi Benteng Terakhir

Oleh: Iranto

(Aktivis, Social Media Specialist)

Energi Juang News, Jakarta-Di tengah gempuran teknologi dan ledakan informasi, kita dihadapkan pada paradoks besar: media sosial yang dulu dielu-elukan sebagai ruang kebebasan kini berubah menjadi alat pembungkaman. Demokrasi yang seharusnya tumbuh subur lewat partisipasi digital, justru mengalami kemunduran akibat manipulasi algoritma yang sistematis dan tidak kasat mata.

Penguasa digital, yang tak lain adalah mereka yang memiliki modal besar dan akses pada teknologi canggih, kini mampu mengendalikan opini publik melalui “politik algoritmis.” Mereka tidak lagi bermain terang-terangan di panggung politik; mereka menyusup lewat lini masa, menyamar dalam like dan share, menyusun citra dalam bentuk konten viral yang sepintas menghibur, namun pada dasarnya menyesatkan.

Ironis, tentu saja. Ketika media sosial menjadi “enklave algoritmik” yang membelah masyarakat secara emosional, kita dipaksa memilih kubu, bukan berdialog. Polarisasi bukan sekadar retorika, tapi menjadi pola pikir yang terjebak dalam sistem digital yang menyaring apa yang ingin kita lihat dan abaikan apa yang perlu kita tahu.

Prof. Merlyna Lim dengan tajam menyebut ini sebagai jebakan kapitalisme komunikasi. Segalanya—ekspresi, emosi, bahkan kebenaran—diperdagangkan demi impresi. Di Indonesia, ia menyebutnya “politik sundel bolong”—pencitraan digital yang cantik di permukaan, namun bolong di belakang karena rekam jejak yang suram. Ini bukan sekadar permainan estetik, melainkan strategi sistematis untuk mencuci citra politisi yang seharusnya kita kritisi.

Kondisi ini menyedihkan, tapi belum terlambat. Dalam pusaran manipulasi digital, harapan tetap ada. Masyarakat sipil adalah pilar terakhir demokrasi yang bisa melawan balik. Bukan dengan kekerasan, tapi lewat kesadaran kritis dan literasi digital yang transformatif.

Kita butuh lebih dari sekadar melek teknologi. Kita butuh nalar kritis. Sekolah, universitas, komunitas—semua harus mengambil bagian dalam membangun kesadaran kolektif bahwa teknologi tidak netral. Tanpa kontrol dari masyarakat, algoritma akan terus memperkuat suara yang paling nyaring, bukan yang paling benar.

Demokrasi digital hanya akan hidup jika kita, sebagai warga, mampu memaksa ruang digital menjadi ruang deliberasi, bukan sekadar panggung pencitraan. Dan itu hanya bisa terjadi jika kita tidak menyerahkan sepenuhnya kendali kepada segelintir elit digital.

Hari ini, kita harus bertanya: apakah kita hanya akan menjadi penonton dalam pertunjukan besar manipulasi digital? Atau kita akan bangkit, menjadi pelaku yang sadar, kritis, dan berani mempertahankan nalar dalam era yang terus dikaburkan oleh algoritma?

Redaksi Energi Juang News

CATEGORIES
TAGS
Share This

COMMENTS

Wordpress (0)
Disqus ( )
Aktifkan Notifikasi Berita Terbaru? Aktifkan Tidak