
Kenapa Startup Indonesia Masih Kalah di Kancah Global?
Oleh : Esteria Tamba
(Penulis, Aktivis)
Energi Juang News, Jakarta– Indonesia dikenal sebagai pasar digital terbesar di Asia Tenggara, namun realitanya, banyak startup Indonesia masih belum mampu menembus panggung dunia seperti startup dari negara tetangga, misalnya Singapura. Salah satu akar permasalahan yang jarang dibahas adalah soal mentalitas dan pola pengembangan bisnis yang terlalu terfokus pada pasar lokal.
Indonesia punya mimpi besar melahirkan startup yang tidak cuma “unicorn lokal”, tapi mampu bersaing dan go global—layaknya Grab, Gojek, atau Sea Group dari Singapura.
Banyak startup di Indonesia sejak awal hanya membidik konsumen dalam negeri, tanpa membangun produk yang scalable secara global. Berbeda dengan startup luar negeri yang sejak tahap embrio sudah memikirkan bagaimana produk mereka bisa melayani kebutuhan lintas negara, startup di Indonesia seringkali terjebak dalam kenyamanan pasar domestik yang memang besar, namun cenderung tidak cukup memaksa untuk melakukan inovasi yang lebih kompetitif.
Masalah berikutnya terletak pada pola pikir bisnis yang terlalu cepat ingin besar dengan mengandalkan pendanaan investor. Selama bertahun-tahun, ekosistem startup Indonesia terbentuk dengan budaya “bakar uang” dan mengejar valuasi, bukan mengejar profitabilitas dan daya tahan jangka panjang. Hal ini mengakibatkan banyak startup yang sebenarnya rapuh secara fundamental ketika krisis seperti “funding winter” melanda.
Di sisi lain, startup luar negeri seperti di Amerika Serikat, Eropa, bahkan India, lebih banyak yang membangun fondasi bisnis berkelanjutan dan berani menjalani proses bootstrapping dalam fase awalnya, sebelum akhirnya menarik investor strategis. Startup luar terbiasa dengan disiplin keuangan dan roadmap produk yang matang sejak dini, sementara di Indonesia, banyak startup baru yang keburu mengejar scale-up tanpa mematangkan sistem internal dan model bisnisnya.
Selain itu, dukungan regulasi dan ekosistem pendukung di Indonesia belum sepenuhnya memadai untuk mendorong startup menuju level global. Infrastruktur hukum seperti perlindungan data, hak kekayaan intelektual, hingga insentif pajak untuk startup masih sering tumpang tindih dan tidak pro-inovasi.
Negara seperti Singapura menyediakan sistem hukum yang lebih ramah bagi startup untuk berkembang lintas negara, bahkan menjadi magnet investasi bagi perusahaan digital asing. Sementara itu, di Indonesia, birokrasi yang panjang, ketidakpastian kebijakan, dan kurangnya integrasi antara pelaku startup dan pemerintah membuat potensi anak muda sulit berkembang optimal. Akibatnya, banyak startup Indonesia yang akhirnya tersandera di pasar lokal tanpa kemampuan ekspansi yang agresif.
Faktor yang tidak kalah penting adalah rendahnya kualitas riset dan penguasaan teknologi mendalam di Indonesia. Startup luar negeri rata-rata memiliki akses pada talenta global dan kolaborasi riset dengan universitas atau institusi terkemuka yang mendorong pengembangan produk berbasis teknologi canggih.
Sementara itu, banyak startup Indonesia lebih memilih mengadopsi model bisnis yang sudah ada, melakukan replikasi tanpa inovasi fundamental, sehingga daya saingnya menjadi lemah ketika diadu dalam skala internasional. Jika Indonesia ingin startup-nya mendunia, maka perlu perubahan dari pola pikir hingga infrastruktur: mulai dari pendidikan talenta digital, insentif riset, hingga keberanian anak muda untuk tidak hanya mengejar kenyamanan pasar lokal, tetapi berani membangun produk yang memang layak bertarung di pasar global.
Redaksi Energi Juang News